Genosida di Gaza Jalan Terus, PBB Hanya Bicara



Ketika Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres menyatakan bahwa “mencari makanan tidak boleh menjadi vonis mati”, dunia berharap ada tindakan nyata menyusul pernyataan tersebut. Namun, seperti banyak pernyataan sebelumnya, ucapan itu kembali menguap di udara tanpa menghasilkan perubahan berarti. Gaza tetap dibombardir. Genosida terhadap warga sipil terus berlangsung. Dalam 24 jam terakhir, 81 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan udara Israel. Jumlah korban yang terus bertambah menguatkan keyakinan banyak pihak bahwa dunia telah gagal melindungi rakyat Gaza.

Ucapan Guterres menggambarkan dengan jelas betapa parahnya kondisi kemanusiaan di Gaza. Rakyat yang kelaparan dan mencari bahan makanan justru menjadi sasaran peluru dan rudal. Sementara itu, lembaga dunia seperti PBB hanya mampu mengeluarkan pernyataan-pernyataan normatif yang tak diiringi langkah-langkah konkret untuk menghentikan kebiadaban ini. Kritik terhadap kebuntuan diplomasi global terus menguat, terutama dari kalangan sipil yang menyaksikan genosida terjadi di depan mata mereka.

Di tengah ketidakberdayaan lembaga internasional, muncul pula perlawanan moral dari kelompok-kelompok Yahudi di Inggris. Sebanyak 36 anggota dari Dewan Deputi Yahudi Inggris dijatuhi sanksi karena menandatangani surat terbuka yang mengkritik keras perang Israel di Gaza. Lima orang diskors selama dua tahun, sementara sisanya ditegur secara resmi. Namun alih-alih mundur, mereka menyatakan akan mengajukan banding dan tetap menyuarakan keprihatinan mereka atas penderitaan warga Gaza.

Para anggota Dewan tersebut menegaskan bahwa mereka tidak bisa lagi diam melihat kehancuran yang terjadi. Dalam pernyataan bersama, mereka menyatakan solidaritas terhadap mayoritas warga Israel yang juga menginginkan perang dihentikan segera. Mereka mengecam penderitaan yang tak berkesudahan terhadap warga sipil di Gaza dan kondisi kemanusiaan yang memburuk di Tepi Barat. Keberanian kelompok ini menunjukkan bahwa kritik terhadap Israel tidak selalu berasal dari luar, tetapi juga dari dalam komunitas Yahudi itu sendiri.

Namun suara-suara moral itu belum cukup untuk menghentikan arus darah. Gaza terus menjadi ladang kematian. Anak-anak, perempuan, dan orang tua menjadi korban setiap harinya. Rumah sakit tak mampu lagi menampung korban luka. Bangunan-bangunan tempat berlindung berubah menjadi reruntuhan. Di tengah kehancuran ini, dunia hanya bisa menatap, mencatat, dan mengutuk tanpa tindakan. Kekebalan Israel atas kritik internasional memperlihatkan betapa timpangnya sistem hukum dan keadilan global saat ini.

Ketika PBB seharusnya menjadi penjaga perdamaian dan pelindung warga sipil, lembaga ini justru tampil seperti penonton di tengah genosida. Guterres memang sudah berulang kali menyuarakan keprihatinannya, namun tanpa dukungan penuh dari Dewan Keamanan, ucapannya tak lebih dari retorika diplomatik yang tidak menimbulkan efek jera terhadap Israel. Ketergantungan pada veto negara kuat membuat PBB lumpuh saat keadilan sangat dibutuhkan.

Lebih dari delapan bulan konflik berjalan, namun tidak ada resolusi yang mengikat atau sanksi nyata terhadap Israel. Pengiriman bantuan kemanusiaan pun terhambat karena jalur distribusi sering menjadi sasaran serangan. Truk bantuan dibom, gudang pangan dihancurkan, dan para relawan kehilangan nyawa. Dalam kondisi seperti ini, ucapan “mencari makanan bukan vonis mati” seharusnya menjadi seruan untuk bertindak, bukan sekadar kutipan media.

Warga Palestina semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem internasional. Mereka merasa sendirian menghadapi penjajahan dan pembantaian sistematis. Ketika lembaga dunia gagal melindungi mereka, maka satu-satunya sandaran adalah perlawanan, meski dengan sumber daya yang jauh lebih kecil. Inilah tragedi kemanusiaan paling pilu di abad modern, yang berlangsung terang-terangan di hadapan kamera dunia.

Meski banyak negara menyerukan gencatan senjata, namun tekanan politik dan ekonomi dari negara-negara besar membuat seruan itu seperti angin lalu. Israel tetap melanjutkan serangannya dengan dalih keamanan, sementara rakyat Gaza tidak pernah diberi kesempatan untuk bernapas. Kehancuran demi kehancuran terus ditayangkan ke seluruh dunia, namun simpati tak pernah berubah menjadi aksi nyata.

Ketika sebagian besar pemimpin dunia sibuk berdiplomasi, suara rakyat justru yang paling nyaring terdengar. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota dunia. Dari London hingga Jakarta, dari New York hingga Rabat, jutaan orang turun ke jalan menuntut keadilan bagi Gaza. Namun tekanan rakyat global itu belum mampu menembus benteng kepentingan politik yang melindungi Israel dari sanksi internasional.

Sementara itu, suara-suara keberanian dari komunitas Yahudi yang menolak kejahatan atas nama bangsanya terus tumbuh. Mereka sadar bahwa keadilan bukanlah soal agama atau asal-usul, tetapi soal kemanusiaan. Penolakan terhadap genosida adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk mereka yang selama ini diasosiasikan dengan Israel. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian harus dibangun di atas keberanian moral.


Gaza hari ini bukan hanya medan perang, tetapi juga cermin kegagalan moral dunia. Ketika rakyat sipil dihukum karena kelaparan, dan anak-anak dibunuh hanya karena lahir di tanah yang salah, maka tidak ada lagi pembenaran yang bisa dibela. Dunia membutuhkan lebih dari sekadar pidato. Dunia membutuhkan keberanian untuk menindak.

Dalam situasi seperti ini, setiap hari tanpa gencatan senjata adalah perpanjangan penderitaan. Setiap jam tanpa tekanan internasional berarti satu nyawa anak lagi melayang. Gaza tidak bisa menunggu hingga tatanan dunia berbenah. Mereka butuh pertolongan sekarang, bukan nanti. Dan jika dunia benar-benar peduli, maka suara Sekjen PBB harus diikuti oleh langkah nyata, bukan dibiarkan menghilang dalam arsip media.

Selama tidak ada perubahan arah, maka serangan Israel akan terus berjalan dengan impunitas. Dunia akan mencatat bahwa ketika sebuah bangsa disembelih perlahan-lahan, para pemimpin dunia hanya mengangkat alis, bukan tangan. Ini adalah kegagalan kolektif yang akan dikenang generasi mendatang sebagai noda besar peradaban.

Mereka yang hari ini diam, kelak akan dikenang sebagai pihak yang ikut membiarkan genosida terjadi. Dan mereka yang bersuara, seperti para Deputi Yahudi yang menolak perang, akan dikenang sebagai cahaya kecil di tengah kegelapan sejarah. Gaza hari ini bukan hanya tentang Palestina, tapi tentang siapa kita sebagai manusia. Jika dunia gagal menyelamatkan Gaza, maka dunia telah gagal menyelamatkan dirinya sendiri.

Share on Google Plus

About newsonline

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Posting Komentar