Ribuan Warga Mauritania Desak Hentikan Genosida Gaza


Gelombang kemarahan terhadap genosida dan serangan brutal Israel di Gaza kini juga bergema di Mauritania. Ribuan orang turun ke jalan di ibu kota Nouakchott dalam unjuk rasa besar-besaran menuntut dihentikannya genosida terhadap rakyat Palestina. Massa bergerak dari masjid-masjid utama seusai salat Jumat, membawa bendera Palestina dan spanduk berisi kecaman terhadap penjajahan Israel. Teriakan “Bebaskan Gaza!”, “Hentikan pembunuhan anak-anak!”, dan “Israel penjajah!” menggema di seluruh sudut kota. Aksi ini menjadi salah satu unjuk rasa terbesar di negara Afrika Barat itu sejak awal konflik terbaru di Gaza.

Demonstrasi tersebut bukan hanya bentuk solidaritas kemanusiaan, tetapi juga pernyataan politik yang kuat dari rakyat Mauritania yang merasa sejarah mereka tak terpisahkan dari perjuangan Palestina yang tertindas. Dalam sejarah modern dunia Arab, Mauritania dikenal sebagai salah satu negara yang terlibat mendukung kebijakan Arab dalam perang terhadap Israel, mengikuti jejak Liga Arab dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Meskipun Mauritania baru diterima sebagai anggota Liga Arab pada 1973, semangat perjuangan Arab kala itu juga dihidupi oleh rakyat negeri ini.

Sikap anti genosida Isael dan dukungan penuh untuk Palestina itu membuat Mauritania begitu konsisten hingga negara tersebut selama lebih dari tiga dekade berada dalam status perang formal dengan Israel. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan konstelasi politik internasional, terutama pasca Perang Teluk dan tekanan dari kekuatan besar dunia, Mauritania mulai membuka jalur diplomatik dengan Israel. Hubungan rahasia mulai dibangun pada pertengahan 1990-an, hingga pada tahun 1999, Mauritania secara resmi mengakui keberadaan Israel sebagai negara berdaulat.

Dengan langkah itu, Mauritania menjadi negara Arab ketiga setelah Mesir dan Yordania yang menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel. Keputusan ini diambil oleh Presiden saat itu, Maaouya Ould Sid'Ahmed Taya, sebagai bagian dari strategi geopolitik yang juga mencerminkan kedekatannya dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam perang melawan teror. Penandatanganan hubungan diplomatik dilakukan di Washington D.C., menjadikan Mauritania pusat perhatian dunia Arab dan internasional.

Namun niat baik tersebut ternyata tak berlangsung lama. Meskipun hubungan diplomatik sempat berjalan selama satu dekade lebih, Israel tidak menunjukkan perubahan berarti dalam perlakuannya terhadap rakyat Palestina. Kekerasan yang terus menerus di Tepi Barat dan terutama di Jalur Gaza membuat publik Mauritania muak dan kecewa. Serangan Israel ke Gaza pada tahun 2008-2009 menjadi titik balik. Pemerintah Mauritania segera membekukan hubungan diplomatik, menarik duta besarnya, dan memerintahkan staf kedutaan Israel untuk meninggalkan Nouakchott dalam waktu 48 jam.

Sejak saat itu, Mauritania tidak lagi menjalin hubungan formal dengan Israel. Pemutusan hubungan diplomatik secara penuh diumumkan pada Maret 2010. Masyarakat Mauritania menyambut langkah ini dengan suka cita, merasa pemerintah akhirnya selaras kembali dengan hati nurani rakyat. Sejak itu, Mauritania berdiri teguh di sisi Palestina dalam setiap forum internasional, dan tak pernah kembali membuka jalur diplomatik dengan Tel Aviv, bahkan di tengah gelombang normalisasi yang dilakukan negara-negara Arab lain.

Mauritania sendiri merupakan negara unik di kawasan Afrika Barat. Secara geografis berada di Afrika, namun secara budaya dan sejarah sangat dekat dengan dunia Arab. Sekitar 100 persen penduduknya beragama Islam, dan bahasa Arab menjadi bahasa resmi. Selain itu, ada pengaruh budaya Berber dan Afrika Sub-Sahara yang menjadikan identitas nasional Mauritania sangat kaya dan berlapis. Mayoritas penduduk tinggal di sepanjang wilayah selatan, sementara sebagian besar utara adalah gurun Sahara yang luas.

Negara ini memiliki sejarah panjang kolonialisme Prancis, namun sejak merdeka pada tahun 1960, Mauritania perlahan membangun identitas kebangsaannya sendiri dengan semangat Pan-Arabisme yang kuat. Dalam konteks ini, solidaritas terhadap Palestina bukan sekadar isu luar negeri, melainkan bagian dari identitas politik nasional. Setiap agresi Israel dianggap sebagai serangan terhadap harga diri bersama dunia Arab dan Islam.

Demonstrasi yang terjadi pekan ini menjadi pengingat kuat bahwa meski Mauritania adalah negara kecil dengan kekuatan militer terbatas, suaranya tetap menggema lantang dalam solidaritas global terhadap Palestina. Rakyat Mauritania menunjukkan bahwa mereka tidak bisa diam melihat anak-anak Gaza dibantai, rumah-rumah dihancurkan, dan warga sipil dikurung dalam blokade yang tidak manusiawi. Mereka memandang Gaza sebagai luka bersama yang belum pernah sembuh sejak 1948.

Aksi unjuk rasa di Nouakchott juga dihadiri oleh tokoh-tokoh agama, politisi oposisi, aktivis hak asasi manusia, hingga mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah agar mengambil langkah lebih tegas dalam forum-forum internasional, termasuk mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mengambil tindakan nyata terhadap Israel. Para demonstran juga mendesak pemutusan total segala bentuk kerja sama terselubung yang mungkin masih ada.

Mauritania saat ini memang tidak memiliki kekuatan ekonomi atau militer untuk mengubah peta politik global. Namun kekuatan moral dan konsistensi posisi politiknya dalam isu Palestina patut dicontoh. Dalam dunia Arab yang mulai terpecah oleh kepentingan geopolitik dan ekonomi, Mauritania tetap menjaga prinsip dasar solidaritas terhadap bangsa yang tertindas.

Pesan utama dari jalan-jalan di ibu kota hari ini adalah bahwa rakyat Mauritania tidak melupakan sejarah. Mereka ingat betul bagaimana Israel memperlakukan Palestina dengan penghinaan yang tak kunjung berhenti. Mereka menolak normalisasi yang tak disertai keadilan. Dan di atas semua itu, mereka menegaskan bahwa hubungan diplomatik tidak bisa didirikan di atas darah anak-anak Gaza yang dibunuh tanpa ampun.

Demonstrasi ini menjadi sinyal kuat bahwa dukungan terhadap Palestina tetap membara di hati rakyat Arab, tak peduli seberapa jauh Gaza dari Nouakchott. Solidaritas bukan tentang kedekatan geografis, tetapi tentang nilai kemanusiaan yang universal. Mauritania, dengan segala keterbatasannya, kembali membuktikan bahwa suara keadilan tetap bisa bersuara lantang dari ujung barat Sahara.

Share on Google Plus

About newsonline

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Posting Komentar