Runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah menjadi pukulan telak bagi Iran, yang selama lebih dari satu dekade menanamkan pengaruh politik, militer, dan ekonomi di negara tersebut. Iran terpaksa menarik diri dari Suriah akibat penghianatan Assad dan kini wilayah Suriah dijadikan Israel untuk menyerang langsung ke Tehran.
Kejatuhan Assad tak hanya menghancurkan investasi geopolitik Iran, tapi juga membuat jalur strategisnya menuju Lebanon dan perbatasan Israel menjadi jauh lebih rapuh. Serangan Israel ke Iran belakangan ini pun menjadi lebih mudah tanpa benteng pertahanan di Damaskus karena sistem pertahanan udara sudah dihancurkan Israel. Pemerintahan transisi Suriah saat ini lebih sibuk dengan isu dalam negeri.
Sejak awal, Iran merupakan penyokong utama rezim Assad saat perang saudara meletus pada 2011. Melalui Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dan khususnya Pasukan Quds, Iran menggelontorkan dana miliaran dolar serta mengerahkan ribuan personel tempur, termasuk para pejuang Syiah dari Afghanistan dan Irak. Tujuannya sederhana, mempertahankan sekutu utamanya di Levant demi menjaga poros ‘Poros Perlawanan’ terhadap Israel.
Namun, dalam minggu-minggu menjelang jatuhnya Aleppo dan kemudian Damaskus, mulai muncul tanda-tanda bahwa Assad mencoba menjaga jarak dari Teheran. Iran mencium adanya pengkhianatan ketika serangkaian pejabat tinggi mereka tewas dalam serangan presisi Israel di Suriah. Tehran mengirim penyelidik khusus yang menduga kuat kebocoran informasi berasal dari lingkaran dalam Assad.
Sejumlah analis menyebut bahwa ketegangan antara Assad dan Iran sebenarnya telah memuncak sejak 2023. Assad mulai membatasi ruang gerak pasukan Iran dan milisi proksi Syiah di Suriah, termasuk melarang mereka memanfaatkan Dataran Tinggi Golan untuk operasi terhadap Israel. Bahkan aktivitas keagamaan Syiah mulai dipersempit oleh pemerintah Suriah.
Kematian komandan senior IRGC di Damaskus akibat serangan Israel pada Desember 2023 dan April 2024 menjadi puncak ketegangan itu. Iran yang dulu bebas mengatur strategi militernya di Suriah, kini mendapati akses mereka diawasi ketat oleh intelijen Suriah sendiri. Hubungan yang semula erat perlahan memburuk.
Ketika serangan pemberontak dari barat laut dan selatan menggulung Damaskus, baik Iran maupun Rusia memilih mundur. Iran menarik pasukan dan penasihatnya ke wilayah timur, sementara Rusia ke pesisir Lataqiyya dan Tartous. Assad dibiarkan menghadapi kehancuran sendirian tanpa bantuan berarti dari dua sekutunya yang dulu sangat loyal. Upaya Assad untuk mendapat simpati AS dan Israel juga gagal meski SDF Kurdi melakukan manuver di menit-menit terakhir untuk menyelamatkan Assad tetap berkuasa di Damaskus meski Homs dan Hama jatuh.
AS menginginkan Assad tetap berkuasa meski hanya di sekitar Damaskus usai pembiaran yang dilakukan Assad setelah Presiden Donald Trump mengakui Dataran Tinggi Golan milik Suriah menjadi bagian dari wilayah Israel; sesuatu yang bertentangan dengan keputusan PBB.
Ironisnya, proyek intervensi Iran yang dimotori almarhum Qassem Soleimani dan Hassan Nasrallah kini menjadi kenangan pahit. Alih-alih memperkuat Poros Perlawanan, kejatuhan Assad justru memutus mata rantai pengaruh Iran di Levant. Hezbollah di Lebanon pun kian terisolasi tanpa dukungan logistik langsung dari Damaskus.
Serangan Israel ke fasilitas-fasilitas milik Iran di Suriah, termasuk konsulat mereka di Damaskus, makin leluasa tanpa pertahanan kuat Suriah. Situasi ini memperparah posisi Iran, apalagi setelah jaringan komandonya di Suriah tercerai-berai. Pengaruh ideologis Iran pun mulai ditekan, dengan pembatasan terhadap ziarah Syiah dan pembangunan fasilitas keagamaan di Suriah.
Bagi Israel, tumbangnya Assad membuka peluang strategis besar. Selain mengurangi ancaman di perbatasan utara, Israel kini lebih leluasa menyerang target-target Iran di Suriah tanpa khawatir membahayakan stabilitas rezim Damaskus. Langkah ini pun sejalan dengan kebijakan AS di bawah Trump yang terus mendorong tekanan maksimum ke Iran.
Di mata para analis Timur Tengah, kejatuhan Assad akan mengakselerasi isolasi Iran di kawasan. Jalur darat Teheran ke Beirut melewati Suriah dipastikan lumpuh. Selain itu, sejumlah pangkalan dan gudang senjata yang dibangun Iran di Suriah dalam satu dekade terakhir sebagian besar jatuh ke tangan pemberontak. Gudang-gudang senjata itu kemudian dihancurkan Israel yang diduga dibocorkan titik koordinatnya oleh eks pendukung Assad.
Kini Suriah telah dipimpin oleh pemerintahan transisi dan sedang dalam upaya menyelenggarakan pemilu dan rekonsiliasi. Iran berupaya merangkul beberapa eks pengikut Assad yang masih tersisa, tapi posisinya jauh lebih lemah dibanding satu dekade lalu.
Pukulan terbesar bagi Iran adalah kehilangan akses langsung ke Dataran Tinggi Golan, yang selama ini menjadi penyeimbang isu Palestina khususnya genosida di Gaza. Dengan tumbangnya Assad, Teheran tak lagi punya pijakan strategis di perbatasan Israel. Kemungkinan Iran memanfaatkan kawasan itu untuk operasi militer kini hampir mustahil. Pemerintah transisi yang masih lemah juga tak ingin ada kelompok yang ingin mengacaukan keamanan di perbatasan dalam hubungannya dengan perbatasan Israel.
Di tingkat domestik Iran, kekalahan ini menjadi pukulan telak terhadap elit militer dan politik negeri itu. Investasi lebih dari USD 30 miliar, ribuan korban jiwa, dan keterlibatan milisi asing kini dianggap sia-sia. Semua aset Iran dan Rusia di Suriah diminta oleh pemerintah transisi untuk direnegoisasi.
Meski begitu, para pejabat senior Iran tetap berusaha menampilkan wajah optimistis. Mereka menyebut jatuhnya Assad sebagai ujian sementara yang harus dihadapi dalam perjuangan panjang Poros Perlawanan. Iran mengklaim masih punya sekutu kuat di Lebanon, Irak, dan Yaman untuk menjaga keseimbangan kawasan.
Kekosongan kekuasaan di Suriah justru dimanfaatkan Israel untuk memperluas pengaruhnya. Selain memperkuat hubungan dengan milisi Kurdi di timur laut Suriah dan kelompok Druze di selatan, Israel juga diam-diam mendekati beberapa faksi Suriah moderat yang ingin menyingkirkan pengaruh Iran sepenuhnya dari Suriah.
Serangan Israel ke Iran pun menjadi lebih berani dan masif, seperti terlihat dalam serangan udara dan drone ke fasilitas nuklir Iran belakangan ini. Tanpa benteng Damaskus, Iran harus lebih hati-hati menempatkan personel dan logistik militernya.
Kini, Teheran menghadapi pilihan sulit: fokus mempertahankan pengaruh di Irak dan Lebanon atau kembali mencoba membangun pijakan di Suriah yang kian kacau. Kedua opsi ini sama-sama berisiko, sebab AS dan Israel tampaknya tak akan memberi Iran kesempatan lagi untuk berlama-lama di kawasan itu.
Yang jelas, kejatuhan Assad adalah babak baru dalam geopolitik Timur Tengah. Poros Perlawanan yang dulu digagas Iran kini melemah dan memyesuaikan dengan kondisi yang ada. Dan yang paling diuntungkan dari kekacauan ini tentu saja Israel dan sekutunya di Barat.
0 komentar :
Posting Komentar