Nama Sultan Nuku tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan di kawasan timur Indonesia, khususnya Maluku dan Papua. Dikenal sebagai pahlawan nasional, Sultan Nuku juga mendapat gelar yang tak kalah bermakna: Sultan Papua. Julukan ini tak datang begitu saja, melainkan lahir dari pengaruh dan kiprah Nuku yang menjangkau hingga daratan Papua, jauh melampaui wilayah kekuasaannya di Kesultanan Tidore. Keberanian, strategi, dan semangat persatuan yang dibawanya menjadikan ia simbol perlawanan rakyat timur terhadap kolonialisme Belanda.
Sultan Nuku lahir pada tahun 1738 di Soasiu, Tidore. Ia adalah putra Sultan Jamaluddin, penguasa Tidore yang pernah diasingkan oleh Belanda ke Batavia. Dari sang ayah, Nuku mewarisi semangat perlawanan yang menyala. Ketika Belanda mengangkat sultan boneka di Tidore dan mengabaikan hak warisnya, Nuku tidak tinggal diam. Ia memulai perjuangan panjangnya yang kelak akan mengguncang dominasi VOC di wilayah timur Nusantara. Perjuangannya dimulai dengan membangun kekuatan di daratan Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya.
Sultan Nuku tak hanya bergerak di wilayah Maluku Utara. Ia mampu membangun jaringan yang luas, termasuk dengan wilayah Papua yang saat itu masih terpinggirkan dalam percaturan politik kolonial. Namun bagi Nuku, Papua bukanlah wilayah asing. Sejak lama, Tidore telah memiliki relasi kultural dan politik dengan beberapa wilayah pesisir Papua, khususnya kawasan Kepala Burung. Relasi ini yang kemudian dimanfaatkan Nuku untuk membangun koalisi anti-Belanda bersama masyarakat Papua. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh adat dan pemimpin lokal di Papua menjadikannya tokoh yang sangat dihormati.
Di mata masyarakat pesisir Papua, Sultan Nuku bukan sekadar seorang sultan dari luar. Ia adalah pemimpin yang dianggap membawa nilai-nilai Islam dan keadilan. Beberapa sumber lisan dan dokumen sejarah menunjukkan bahwa pengaruh Nuku dalam penyebaran Islam di kawasan barat Papua cukup signifikan. Ia tidak memaksa, melainkan berdakwah melalui pendekatan kultural dan diplomatik. Inilah yang membuat sebagian masyarakat Papua mengakui dan menjuluki Nuku sebagai Sultan Papua.
Julukan Sultan Papua mencerminkan betapa besarnya pengaruh Nuku di kawasan itu. Ia bukan hanya dihormati karena kekuatan militernya, melainkan juga karena sikapnya yang merangkul semua kalangan, termasuk yang bukan Muslim. Ketika Belanda memperluas cengkeramannya di Papua, Nuku justru menjadi pelindung bagi masyarakat yang ingin bebas dari tekanan kolonial. Ia menawarkan aliansi, perlindungan, dan kerja sama untuk melawan penjajahan. Hal ini yang menjadikan Nuku sebagai simbol pemersatu di tengah kebinekaan timur Indonesia.
Perjuangan Nuku berlangsung selama lebih dari dua dekade. Ia memimpin perlawanan gerilya dari satu pulau ke pulau lain, termasuk wilayah Papua Barat saat ini. Dengan bantuan dari sekutunya, termasuk Inggris, ia mampu merebut kembali Tidore dari tangan Belanda pada 1797 dan diangkat sebagai Sultan Tidore yang sah. Dalam masa kepemimpinannya yang singkat hingga wafatnya pada 1805, Nuku berhasil menjaga kedaulatan dan memperluas pengaruh Kesultanan Tidore hingga ke wilayah Papua.
Setelah wafatnya, pengaruh Nuku tidak serta merta menghilang. Masyarakat Papua, khususnya yang berada di pesisir barat, tetap mengenang namanya. Dalam beberapa tradisi lisan, nama Nuku masih disebut sebagai tokoh besar yang pernah datang dari seberang laut membawa ajaran Islam dan nilai persaudaraan. Ia menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat sebagai simbol kepemimpinan yang berkeadilan. Bahkan beberapa pemimpin adat masih menyebut dirinya sebagai penerus hubungan sejarah dengan Kesultanan Tidore.
Warisan Sultan Nuku juga tercermin dalam pengakuan negara. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1995. Namun lebih dari sekadar gelar, pengakuan ini menjadi penanda penting bahwa perjuangan rakyat timur, termasuk dari Papua, memiliki tempat terhormat dalam sejarah bangsa. Gelar Sultan Papua yang melekat padanya menjadi bukti bahwa batas-batas administratif tidak dapat memisahkan sejarah yang telah terjalin lintas pulau, lintas budaya, dan lintas keyakinan.
Kiprah Sultan Nuku mengajarkan bahwa perjuangan tak melulu soal senjata, tapi juga tentang menyatukan perbedaan. Dalam berbagai catatan sejarah, Nuku dikenal sebagai pemimpin yang tidak pernah memaksakan agama Islam, tapi justru diterima dengan hangat karena pendekatannya yang penuh penghormatan. Ini menjadi salah satu alasan kenapa dakwah Islam di Papua berjalan dengan damai dan tanpa pertumpahan darah. Masyarakat Papua tidak merasa ditaklukkan, melainkan merasa diajak dalam satu perjuangan yang sama.
Hubungan erat antara Kesultanan Tidore dan wilayah Papua tidak berhenti di masa Nuku. Bahkan setelah wafatnya, pengaruh kesultanan ini tetap terasa. Beberapa wilayah di Papua, seperti Fakfak, Kaimana, dan Sorong, masih memiliki hubungan historis dengan Tidore. Dalam upacara adat dan sistem pemerintahan lokal, pengaruh kesultanan ini tetap hidup dan menjadi bagian dari identitas masyarakat setempat. Inilah bukti nyata bahwa Sultan Nuku dan Kesultanan Tidore bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan warisan yang hidup hingga kini.
Kini, dengan semakin terbukanya ruang untuk membaca ulang sejarah, nama Sultan Nuku kembali mendapat tempat yang layak dalam diskursus kebangsaan. Di Papua, semangat Nuku mulai dikenalkan kembali kepada generasi muda sebagai bagian dari identitas sejarah mereka. Pendidikan dan kajian sejarah lokal menjadi jalan penting untuk menggali dan memahami betapa besar pengaruh seorang tokoh dari seberang laut yang kini mereka kenal sebagai Sultan Papua.
Melalui narasi sejarah seperti ini, hubungan antarwilayah di Indonesia dapat terjalin lebih erat. Bahwa Papua bukan wilayah terpinggirkan, tapi merupakan bagian penting dari sejarah nasional sejak ratusan tahun lalu. Sultan Nuku telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang inklusif dan berlandaskan keadilan bisa menyatukan berbagai suku dan agama. Dan hal ini terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kesadaran akan sejarah bersama menjadi dasar penting dalam membangun masa depan Papua. Dengan mengenang tokoh seperti Sultan Nuku, masyarakat diajak untuk melihat kembali jejak-jejak integrasi dan toleransi yang telah terbentuk jauh sebelum konsep negara modern hadir. Sultan Papua adalah cerminan dari pemimpin yang tidak hanya berani, tetapi juga bijaksana dan penuh kasih terhadap rakyatnya.
Sebutan Sultan Papua adalah penghargaan tertinggi dari rakyat kepada seorang pemimpin yang melampaui batas wilayah kekuasaan formalnya. Nuku adalah bukti nyata bahwa kekuasaan sejati terletak pada kepercayaan rakyat, bukan hanya pada tahta. Ketika masyarakat Papua menyebutnya demikian, itu berarti mereka mengakui bahwa Nuku adalah bagian dari mereka, dari sejarah mereka, dan dari darah perjuangan mereka.
Kini, sudah saatnya narasi besar tentang Sultan Nuku dan hubungan erat Tidore-Papua dikembangkan lebih luas dalam pendidikan sejarah nasional. Sebab, pemahaman sejarah bukan hanya soal mengenal masa lalu, tetapi juga soal membangun kesadaran jati diri bangsa yang utuh. Papua bukan pelengkap, melainkan salah satu fondasi kokoh Indonesia.
Sultan Nuku mengajarkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan bisa dimenangkan tanpa kehilangan martabat. Bahwa kepemimpinan bukan soal dominasi, tapi soal merangkul dan melindungi. Warisannya sebagai Sultan Papua harus terus dirawat, dikenalkan, dan dijadikan teladan dalam membangun bangsa yang majemuk, adil, dan berkeadaban.
Ketika sejarah kembali digali dengan jujur, maka akan ditemukan bahwa banyak pemimpin besar dari timur negeri ini yang telah berjasa menjaga kehormatan tanah air. Sultan Nuku adalah salah satunya. Ia bukan hanya milik Tidore, tapi juga milik Papua, milik Indonesia. Gelar Sultan Papua yang disematkan padanya adalah simbol bahwa semangatnya tak pernah padam.
Mengingat Nuku bukan hanya mengenang masa lalu, tapi juga menyalakan kembali harapan akan masa depan. Seorang pemimpin dari laut timur yang datang membawa pesan damai, keadilan, dan persatuan. Dari Tidore ke Papua, dari masa silam ke masa kini, Nuku tetap hidup sebagai cahaya yang menuntun bangsa.
Dibuat oleh AI
0 komentar :
Posting Komentar